Archive for Mei, 2012

Oleh: Muhammad Al-Ghazali (1917-1996)

Allah SWT menciptakan manusia untuk dihormati, bukan untuk dihina. Allah memerintahkan para malaikat supaya bersujud menghormati manusia, agar manusia tidak hidup sejajar dengan margasatwa! Kendatipun di muka bumi manusia hidup menanggung berbagai macam penderitaan dan kesukaran, namun jika ia hidup lurus dan damai bersama makhluk sejenisnya, tentu di sisi Allah ia lebih mulia daripada para malaikat di “langit”. Hal itu telah ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:

“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Mereka Kami angkut di daratan dan di lautan. Kepada mereka Kami beri rejeki yang serba baik, dan kepada mereka Kami berikan keutamaan yang lebih sempurna daripada kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS 17:70)

Tetapi jika orang memperhatikan sejarah kehidupan manusia, ia tentu menemukan kenyataan akan banyak sekali manusia yang ditimpa kenistaan dan kesengsaraan. Bahkan banyak pula manusia yang dilanda kelaparan, sedangkan binatang malah dapat memperoleh makanan. Tidak sedikit pula manusia yang kehilangan hak-hak material (jasmaniah) dan moral (ruhaniah) sehingga mereka hidup terlunta-lunta berkeliaran tanpa arah bagaikan burung dan serangga. Siapakah yang menimpakan bencana seperti itu kepada manusia? Yang menimpakan bencana itu bukan malaikat dan bukan jin, bukan pula air dan udara. Yang menimpakan bencana seperti itu adalah sebagian manusia sendiri, yaitu mereka yang memiliki harta kekayaan dan kekuasaan, yang menggunakan kekayaan dan kekuasaannya untuk berbuat zalim dan merugikan manusia-manusia lain.

Penguasa yang zalim

Sejak zaman dahulu kala, berbagai kelompok manusia hidup dengan segala macam kebengisan, melawan Wahyu Illahi, menentang keadilan, mengubur akhlak utama dan memaksakan hawa-nafsunya kepada kelompok-kelompok manusia lain. Akhirnya datanglah manusia-manusia yang bertekad kuat (ulul-‘azm) para pengawal kebenaran Illahi untuk memotong cakar-cakar manusia yang bengis itu, melatih mereka berperangai lembut, meletakkan dasar-dasar hukum yang baik untuk menangkal kezaliman dan melindungi kaum lemah, untuk menjaga hak-hak asasi manusia secara terperinci berdasarkan rangkaian pengalaman panjang dalam perjuangan melawan penindasan politik, kezaliman sosial dan penyelewengan moral.

Apabila kita memperhatikan materi hukum yang telah diletakkan untuk kepentingan itu, kita akan dapat mengetahui hak-hak apa yang sebenarnya diinginkan oleh manusia, yaitu hak-hak yang dirasakan telah hilang oleh sebagian besar umat manusia! Materi pertama yang terdapat di dalam deklarasi internasional mengenai hak-hak asasi manusia menetapkan bahwa semua manusia dilahirkan bebas merdeka, semuanya mempunyai persamaan dalam hak dan kewajiban. Mengenai ketentuan bahwa manusia itu dilahirkan bebas merdeka, tak lain merupakan ucapan ‘Umar ibn Al-Khatthab r.a. Ia mengucapkan kalimat tersebut tanpa teks, tanpa dipersiapkan lebih dulu dan tanpa dipaksa oleh keadaan apapun. Ucapan itu meluncur keluar dari fitrah Islamiyah!

Deklarasi Internasional HAM

Tetapi dalam kurun waktu amat panjang, kalimat yang indah itu hanya merupakan sebentuk teori khayalan! Betapa banyak manusia yang dilahirkan dalam keadaan memiliki hak-hak yang tidak dimiliki oleh manusia lain. Betapa banyak manusia yang dilahirkan dalam keadaan memikul beban kewajiban yang tidak dipikul oleh manusia lain. Betapa banyak kesempatan kerja yang jatuh ke tangan orang-orang yang bukan ahlinya, dan tak usahlah Anda bertanya: Bagaimana itu dapat terjadi? Banyak orang sebelum Anda berani bertanya, dan mereka sudah lenyap tanpa bekas, atau mereka hidup dengan kepala tertunduk, karena terlampau banyak penderitaan yang dihadapinya. Kekuasaan yang dimiliki oleh sementara orang, ternyata digunakan untuk berbuat berbagai macam kezaliman dan kedurhakaan. Padahal Allah SWT, yaitu Yang Maha Kuasa berbuat segala sesuatu, tidak pernah berlaku zalim terhadap siapapun dari seluruh makhluk yang semuanya berada di bawah kekuasaan-Nya. Bahkan Allah, melalui Rasul-Nya, berfirman dalam hadis qudsi:

“Aku telah mengharamkan kezaliman bagi Zat-Ku, karena itu janganlah kalian saling berbuat zalim.”

Walaupun demikian di berbagai negeri masih banyak orang yang memiliki kekuasaan dan harta kekayaan yang berlaku zalim tanpa menghiraukan ketentuan-ketentuan hukum dan piagam yang telah ditetapkan berdasarkan pengalaman-pengalaman masa lampau, baik yang berguna maupun yang pahit.

Hak-hak asasi manusia di dalam agama kita, Islam, lahir bersamaan ucapan tauhid. Pada saat kita mengikrarkan iman kepada Allah yang tiada sesembahan selain Dia, tiada sumber hukum dan kekuasaan tertinggi selain Dia; pada saat itu juga runtuhlah keberhalaan dan segala bentuk manifestasinya, baik yang berupa kepercayaan, politik maupun sosial! Benarlah, bahwa meyakini ke-Esa-an Allah dan kekuasaan-Nya atas segala makhluk ciptaan-Nya, termasuk pengurusan-Nya atas segala sesuatu, dan kesadaran bahwa hanya Allah sajalah yang berkuasa mendatangkan manfaat dan mudharat, yang berkuasa mengangkat atau memerosotkan martabat manusia, dan hanya Allah sajalah yang berkuasa memberi atau mencegah; semuanya itu menegaskan kemerdekaan manusia yang seluas-luasnya. Yaitu kemerdekaan yang membuat manusia tidak mempedulikan thaghut mana pun di muka bumi. Sebab, betapapun kejamnya kekuasaan thaghut, ia tak lain adalah hamba Allah juga.

Al-Quran Al-Karim menceritakan peristiwa Nabi Musa a.s. dengan Fir’aun

Kita mengetahui bahwa Al-Quran Al-Karim lebih dari sepuluh kali mengulang-ulang kisah peristiwa Nabi Musa a.s. dalam menghadapi Fir’aun. Sebab, “Fir’aunisme” memang suatu penyakit jiwa yang menjangkiti setiap penguasa yang bertindak sewenang-wenang. Cobalah Anda perhatikan apa yang dikatakan Fir’aun kepada kaumnya:

“Aku tidak mengemukakan kepada kalian selain yang ku pandang baik, dan aku tidak menunjukkan kepada kalian selain jalan yang benar!” (QS 40:29)

Makam Fir’aun

Ketika Fir’aun melihat tukang-tukang sihir kerajaannya serentak beriman kepada Nabi Musa a.s., yaitu setelah mereka menyaksikan sendiri mukjizat Nabi Musa a.s. sewaktu menelan habis hasil permainan sihir mereka, berkata Fir’aun kepada mereka:

“Apakah kalian (berani) beriman kepada Musa sebelum ku izinkan? Dia adalah tukang sihir besar yang mengajarkan ilmu sihir kepada kalian. Sungguh akan ku potong tangan dan kaki kalian secara bersilang (tangan kanan dan kaki kiri atau sebaliknya), dan kalian akan ku salib di pohon-pohon kurma, agar kalian menyaksikan sendiri siapakah di antara kita (yakni antara Fir’aun dan Musa a.s.) yang dapat memberikan hukuman paling pedih dan paling kekal!” (QS 20:71)

Itulah Fir’aun, manusia kerdil yang menganggap pendapatnya sendiri sajalah yang paling benar, dan menganggap dirinya sendiri sajalah yang berhak menentukan keputusan! Ia berfikir, barangsiapa yang mempunyai pendapat lain tanpa seizin dia, orang itu dianggap salah dan memberontak! Fir’aun menganggap dirinya berhak menguasai perasaan dan hati nurani manusia. Baginya semua manusia adalah budak yang harus mengabdi kemaslahatan pribadinya. Untuk menjaga kemanusiaan dari noda seperti itu, hukum lebih diperkeras lagi dengan menetapkan kewajiban bermusyawarah dan mengharuskan para penguasa melaksanakannya. Bersamaan dengan itu, ditetapkan pula persyaratan yang keras agar harta kekayaan umum tidak digunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Selain itu diletakkan juga ketentuan-ketentuan hukum yang tegas untuk menjamin hak setiap orang memperolah keadilan dari badan-badan yudikatif (mahkamah dan peradilan). Seseorang tidak boleh dipenjarakan atau ditahan kecuali berdasarkan keputusan peradilan yang sebersih-bersihnya. Manusia harus tetap dilindungi hak-haknya dan tidak boleh diganggu atau diperlakukan sewenang-wenang.

Salah satu lembaga yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi

Rasulullah SAW mengetahui benar bahwa orang yang membunuh paman beliau yang dicintainya, Hamzah, ialah Wahsyiy. Namun, setelah Wahsyiy memeluk Islam, beliau tidak mengambil tindakan pembalasan apapun terhadapnya. Demikian pula ‘Umar ibn Al-Khatthab r.a. Ia mengetahui orang yang membunuh saudaranya di masa jahiliyah, tetapi kemudian si pembunuh itu memeluk Islam. Ketika itu ‘Umar terus terang berkata padanya: “Demi Allah, aku tidak menyukaimu!” Orang itu menyahut: “Ya Amir Al-Mu’minin, apakah itu menghalangi hak-hakku?” ‘Umar menjawab: “Tidak.” Si pembunuh menyahut: “Kalau begitu tidak mengapa! Hanya perempuan sajalah yang sedih ditinggal kekasihnya!”

Pada hakikatnya, sunnah Rasulullah SAW dan tradisi kekhalifahan sepeninggal beliau merupakan suri teladan tinggi tentang penghormatan dan perlindungan manusia atas segala haknya. Rasulullah SAW menyerukan kepada setiap orang yang merasa diperlakukan oleh beliau secara zalim supaya menuntut balas dan mengambil kembali hak-haknya. Demikian pula para Khalifah Rasyidun sepeninggal beliau. Khalifah ‘Utsman tidak mau mengerahkan penduduk Madinah –khususnya sanak familinya sendiri- untuk membela dirinya; agar tidak terjadi pertumpahan darah antara mereka dan orang-orang yang hendak membunuhnya. Seumpama yang berkuasa ketika itu orang lain, ia tentu menjerumuskan separuh penduduk kota Madinah dalam peperangan untuk membela dirinya.

Peta Kekaisaran Romawi

Peta Kekaisaran Romawi

Dalam lingkungan yang bebas merdeka seperti itulah ditempa manusia-manusia Muslim yang dalam sejarah telah menghancurkan singgasana KisraPersiadan kekaisaran Rumawi. Sejarah mengabadikan ucapan seorang di antara mereka setelah memasuki negeri Persia: “Kami datang untuk membebaskan manusia dari penyembahan berhala dan agar mereka bersembah-sujud hanya kepada Allah. Kami datang untuk mengeluarkan manusia dari kepengapan agama-agama syirik dan memasukkan mereka ke dalam keleluasaan agama Islam!” Mereka mengetahui dengan tepat bahwa di dalam kalimat Tauhid terdapat segi lain, yaitu hak-hak asasi manusia. Manusia tidak membungkuk kepada siapapun selain Allah!

Dalam suasana demikian itulah suatu lingkungan masyarakat merdeka menerima gemblengan kuat untuk mempersiapkan terbentuknya umat Islam yang mengenal kewajiban terhadap Tuhannya. Suatu umat yang menjadi tuan di tanah airnya sendiri, umat yang pantang diperlakukan sewenang-wenang atau dilucuti hak kemerdekannya. Islam tidak menyukai umatnya direndahkan dan mengharuskan setiap orang beriman supaya mempertahankan kehormatan dan harga dirinya. Manakala di suatu bagian bumi ini seorang beriman telah merasa sempit, maka Islam menganjurkan supaya ia pindah ke bagian bumi yang lain, agar ia tetap menjadi manusia yang kuat dan terhormat sebagaimana telah difirmankan Allah SWT di dalam Al-Quran Al-Karim:

“Katakanlah (hai Muhammad): “Hai para hamba Allah yang beriman, hendaklah kalian tetap bertakwa kepada Allah. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini pasti akan memperolah kebaikan pula, dan bumi Allah adalah luas.”” (QS 39:10)

Tetapi orang yang pindah ke bagian bumi lain tidak berarti ia melarikan diri dari kewajiban melawan kezaliman sedapat mungkin. Khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq r.a. dalam salah satu pidatonya mengatakan: “Kita telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, bahwa jika banyak orang yang melihat kezaliman dan tidak berusaha menanggulanginya. Allah akan menjatuhkan hukuman umum (menimpa semua orang). Aku sendiri pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda bahwa bila terjadi berbagai maksiat (kedurhakaan) di dalam suatu kaum, kemudian mereka enggan dan tidak berusaha mengubah keadaan, Allah akan menjatuhkan hukuman umum.” Orang-orang yang zalim sebenarnya pengecut. Kalau orang seperti itu menyadari, jika ia menampar muka orang lain maka tamparan itu akan berbalik menampar mukanya sendiri (yakni menerima balasan yang sama). Dan ia tentu akan berpikir seribu kali sebelum berbuat. Tetapi kaum pengecut memang hanya dapat berteriak di tengahpadangpasir dan berani menepuk dada hanya di tempat sunyi. Sungguh celakalah bangsa yang pengecut!

 

Demonstrasi adalah salah satu hak politik

Manusia mempunyai hak-hak politik untuk dapat mengoreksi atau mengkritik para pemimpinnya, baik yang tinggi maupun yang rendah, tanpa merasa khawatir akan mengalami risiko apapun. Setiap manusia juga berhak menempati kedudukan atau jabatan yang sesuai dengan keahliannya tanpa rintangan dan halangan apapun. Pada prinsipnya ialah, selain Rasulullah SAW, tidak ada manusia lain yang mempunyai “kekebalan” dari kritik atau koreksi. Kedudukan atau jabatan, pada hakikatnya, adalah amanah yang semestinya harus ditangani oleh orang yang ahli, dan harus dijauhkan dari orang yang bukan ahlinya. Setiap manusia juga mempunyai hak atas harta dan berkewajiban memanfaatkannya untuk kemaslahatan umum atas dasar prinsip persaudaraan, khususnya di kalangan kaum Muslim. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Muslim yang satu adalah saudara bagi Muslim yang lain, yang satu tidak boleh menelantarkan atau berlaku zalim terhadap yang lain. Ibnu Hazm menegaskan: “Barangsiapa membiarkan saudaranya kelaparan dan tidak mempunyai pakaian, padahal ia mampu memberinya makan dan pakaian, berarti ia telah menelantarkannya.” Ibn Al-Jauziy, dalam bukunya mengenai riwayat hidup ‘Umar ibn Al-Khatthab r.a., mengatakan bahwa ketika kaum Muslim ditimpa musim paceklik, Khalifah ‘Umar ibn Al-Khatthab r.a. berkata: “Seumpama tidak ada jalan lain untuk menolong mereka, maka aku harus mewajibkan setiap keluarga untuk makan setengah kenyang selama menunggu datangnya musim penghujan, dan hal itu tentu ku lakukan juga. Dengan separuh isi perut, mereka tidak akan mati kelaparan.”

Manusia mempunyai hak atas pendidikan

Setiap manusia pun mempunyai hak atas pendidikan. Ilmu pengetahuan wajib diusahakan pemerataannya di kalangan semua orang dan mudah didapat, baik oleh pria, wanita, kaya maupun miskin. Sebagaimana sunnah Rasulullah SAW yang telah menetapkan bahwa menuntut ilmu adalah wajib. Bakat dan kesanggupan manusia, pikiran dan perasaannya tidak akan tumbuh subur dan masak kecuali jika terus menerus dipupuk dengan ilmu pengetahuan. Adalah suatu keanehan jika manusia Muslim selama beberapa abad hidup jauh dari agamanya, tumbuh di ladang bukan ladangnya dan menghayati syariat yang bukan syariatnya. Bangsa-bangsa lain memilih penguasanya sendiri dan menggantinya jika telah dirasakan menjemukan. Tidak demikian halnya di kalangan kita bangsa Arab. Bangsa kita telah dihadapkan pada keharusan menerima apa yang diinginkan oleh para penguasanya, seperti orang yang diharuskan menerima penyakit mendadak, tak tahu bagaimana cara menghindarinya.

Pembantaian di Libanon

Ketika di Libanon terjadi pembantaian, beribu-ribu orang di berbagai negeri melancarkan demonstrasi menyatakan amarahnya, kecuali di ibukota negeri-negeri Islam, karena di negeri-negeri itu demonstrasi dilarang. Siapa tahu kesedihan akan mengakibatkan kesedihan lain. Mungkin demonstrasi-demonstrasi akan dapat berbalik menentang para penguasa Islam sendiri. Karena itu lebih baik dilarang! Biarlah “pemimpin-pemimpin tercinta” sendiri itu yang akan menunaikan “kewajiban”!

Read Full Post »